Waktu Sholat Mekkah

Waktu Sholat Mekkah

,
Diberdayakan oleh Blogger.


 Ygsgdbbd

Cari Blog Ini

Bradley Glover

Bradley Glover

Economics Teacher

James Andy

James Andy

Math Teacher

Londynn Vargas

Londynn Vargas

Language Teacher

Kontributor

Kathy Matthews

Kathy Matthews

History Teacher

Robert O'Neill

Robert O'Neill

Physical Education Teacher

Iklan

iklan

Di Balik Retorika: Apakah Iran Benar-Benar Mendukung Palestina?

Senin, 07 Oktober 2024, 22.32.00 WIB Last Updated 2024-10-07T15:43:57Z

Queen News - Belakangan ini, perdebatan antara Sunni dan Syiah semakin memanas, terutama setelah Iran merespons tindakan Israel di wilayah pendudukan. Banyak yang bertanya, apakah Iran benar-benar mendukung perjuangan Palestina? Mari kita telusuri lebih lanjut.


Setelah pembunuhan pimpinan Hizbullah dan invasi Israel ke Lebanon Selatan, Iran merespons dengan meluncurkan serangan ke wilayah pendudukan Zionis. Sementara Israel mencoba meremehkan hal ini, Iran justru menonjolkan aksinya. Perdebatan pun muncul di kalangan Muslim; ada yang berpendapat bahwa Sunni tidak seharusnya mendukung Syiah, sementara yang lain menyerukan persatuan demi Palestina.


Namun, ini bukanlah masalah Sunni-Syiah. Kita perlu memperjelas hal ini. Negara-negara seperti Turki, Mesir, Arab Saudi, Yordania, dan negara-negara Teluk adalah Sunni. Tapi, apakah keyakinan Sunni mereka mempengaruhi tindakan politik mereka? Selama puluhan tahun, keyakinan agama mereka tidak relevan, begitu pula dengan Syiah Iran. Mari kita perjelas.


Iran pernah berperang melawan Irak selama delapan tahun (1980–1988), meskipun mayoritas penduduk Irak adalah Syiah, banyak situs suci Syiah berada di Irak, dan sebagian besar tentara Irak juga Syiah. Namun, itu tidak menghalangi kedua negara untuk berperang. Saat Amerika menginvasi Irak pada Perang Teluk kedua, Iran memilih netral. Bahkan, mereka membantu Amerika dengan menyita 115 pesawat tempur Irak dan tidak pernah mengembalikannya, memberi Amerika kendali penuh atas wilayah udara Irak.


Hal serupa terjadi saat Amerika menginvasi Afghanistan. Iran tidak hanya bersikap netral, tetapi juga membantu membentuk pemerintahan sekuler di Afghanistan. Ini membuktikan bahwa bagi Iran, Syiah tidak relevan dalam kebijakan luar negeri mereka. Bahkan, kerjasama ini sudah berlangsung jauh sebelum Revolusi Iran 1979. Khomeini sendiri pernah bernegosiasi dengan Amerika, menjamin bahwa dia tidak menentang AS, dan bahkan menyarankan bahwa pengaruh AS di Iran lebih baik daripada Inggris atau komunis, mengingat tingginya dukungan komunis di Iran sebelum revolusi.


Menariknya, saat Khomeini kembali ke Iran, Prancis—negara yang dikenal anti-Islam—memberinya pengawalan militer. Padahal, ini adalah negara yang sama yang selama Perang Balkan mengirim presidennya ke Bosnia untuk memastikan bahwa Bosnia tidak menjadi negara Islam. Lalu, mengapa Prancis yang anti-Islam membantu Khomeini membangun negara "Islam"? Jawabannya jelas: mereka tahu Iran tidak akan menjadi negara Islam sejati.


Perdebatan Sunni-Syiah ini tidak relevan karena tak satu pun dari negara-negara ini berbasis pada Islam. Kebijakan mereka didorong oleh kepentingan nasional, bukan agama. Ini jelas terlihat dari sejarah puluhan tahun terakhir. Ambil contoh, Gamal Abdel Nasser di Mesir. Dia mendapatkan dukungan besar dengan retorika anti-Amerika dan janji membebaskan Palestina. Namun, Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani saat itu mengungkap bahwa Nasser sebenarnya adalah aset CIA, dan semua tindakannya justru menguntungkan Amerika. Kini, fakta ini sudah menjadi rahasia umum. Dalam memoarnya, mantan agen CIA Miles Copeland mengakui bahwa CIA yang menempatkan Nasser berkuasa, dan retorikanya hanya untuk menipu rakyat.


Saat ini, kita melihat sosok serupa dalam diri Recep Tayyip Erdogan. Banyak ulama dan kelompok Muslim mendukungnya, bahkan menyebutnya sebagai "mujahid" yang akan melindungi umat. Namun, Turki memiliki hubungan terpanjang dan terkuat dengan Israel, bahkan memasok bahan bakar untuk jet tempur yang membombardir Gaza, Tepi Barat, dan Lebanon. Lebih dari itu, anggota keluarga Erdogan sendiri terlibat dalam kerja sama ini. Inilah pengkhianatan yang dihadapi umat.


Umat Islam harus sadar bahwa tak ada negara-negara ini yang berbasis pada Islam. Tak satu pun dari mereka akan membantu Palestina. Peristiwa setahun terakhir ini seharusnya sudah cukup membuka mata bahwa tidak ada harapan di PBB, hukum internasional, pemerintah Barat, pemerintah Arab, maupun pemerintah Iran. Harapan hanya ada pada umat itu sendiri. Umat harus membangkitkan kembali negara Islam sejati, dan Khilafah adalah satu-satunya bentuk politik yang disahkan oleh Islam, seperti yang didirikan Nabi Muhammad SAW untuk melindungi agama. Tidak ada negara nasionalistik yang akan mampu melakukan hal tersebut.


Iklan

iklan