Queen News / Bandar Lampung, 20 November 2024 -- Bendera mayoritas negara-negara Arab saat ini memiliki kombinasi warna yang khas, yaitu hitam, hijau, merah, dan putih. Pola warna ini bukan sekadar estetika, melainkan simbol yang sarat makna sejarah dan perjuangan, berakar dari peristiwa Revolusi Arab pada 1916–1918. Revolusi ini menjadi simbol pemberontakan bangsa Arab terhadap kekuasaan Khilafah Utsmaniyah yang kala itu menguasai sebagian besar dunia Arab. Ironisnya, desain bendera yang kemudian menginspirasi banyak negara Arab modern ini juga memiliki jejak pengaruh dari seorang diplomat Inggris, Sir Mark Sykes, yang mendorong pemberontakan bangsa Arab demi kepentingan strategis Inggris dan sekutunya.
Revolusi Arab ini dipimpin oleh Syarif Hussein bin Ali, Emir Mekah, yang berharap dapat membentuk negara Arab merdeka di bawah naungan kekhalifahan atau kerajaan yang bersatu. Dalam rangkaian perjuangan tersebut, Sykes turut terlibat dalam penggambaran aspirasi bangsa Arab dan merancang bendera yang akan merepresentasikan gerakan ini. Dalam desain awal bendera Revolusi Arab, setiap warna memiliki arti mendalam. Hitam melambangkan Dinasti Abbasiyah, hijau sebagai simbol Dinasti Fatimiyah, putih untuk Dinasti Umayyah, dan merah sebagai tanda perjuangan melawan penindasan serta representasi Dinasti Hashemiyah. Warna-warna ini mengakar kuat pada sejarah dinasti-dinasti besar yang pernah berkuasa di dunia Islam.
Namun, intervensi Inggris dalam revolusi ini tidak dapat dipisahkan dari motivasi geopolitik. Dalam perjanjian rahasia yang dikenal sebagai Perjanjian Sykes-Picot, Mark Sykes bersama diplomat Prancis, François Georges-Picot, membagi wilayah kekuasaan Utsmaniyah di Timur Tengah ke dalam pengaruh kolonial Inggris dan Prancis. Perjanjian ini menandai dimulainya pecahnya kesatuan wilayah dunia Islam di kawasan tersebut. Bahkan, setelah Revolusi Arab berhasil menumbangkan pengaruh Utsmaniyah di wilayah Arab, bangsa Arab tidak pernah benar-benar meraih kemerdekaan sepenuhnya. Sebaliknya, pembagian wilayah sesuai perjanjian tersebut menciptakan negara-negara baru yang berbatasan dan bersaing satu sama lain, serta terpengaruh oleh kepentingan kolonial Barat.
Bendera yang mewakili semangat Revolusi Arab kemudian menjadi inspirasi bagi banyak negara Arab, yang menggunakan kombinasi warna serupa sebagai lambang identitas nasional dan kebanggaan sejarah. Negara-negara seperti Yordania, Irak, Suriah, Palestina, dan Kuwait mengadopsi warna-warna ini sebagai simbol nasional mereka. Namun, ironisnya, di balik semangat persatuan yang diusung oleh bendera Revolusi Arab, ada perpecahan yang justru semakin tajam di kalangan negara-negara Arab. Pengaruh kolonial, pembagian wilayah yang dipaksakan, dan agenda geopolitik luar telah meninggalkan jejak panjang yang mengakar dalam sejarah konflik di Timur Tengah, khususnya dalam isu Palestina.
Kondisi Palestina, yang hingga kini terus berjuang mempertahankan kemerdekaannya, menjadi contoh nyata dari dampak pembagian wilayah yang terjadi setelah Perang Dunia I. Deklarasi Balfour pada 1917 yang didukung Inggris, menjadi dasar bagi pendirian negara Zionis di tanah Palestina. Hal ini menciptakan konflik berkepanjangan yang terus bereskalasi, bahkan sampai hari ini. Palestina yang dahulu merupakan bagian dari cita-cita Revolusi Arab untuk bersatu, kini menjadi pusat konflik yang menguji kesatuan umat Islam di seluruh dunia.
Pertanyaannya, dapatkah umat Muslim bersatu jika simbol yang selama ini digunakan justru memiliki jejak perpecahan sejarah yang mendalam? Banyak yang mulai mempertanyakan simbol-simbol nasional ini, mengingat bahwa mereka lahir dari pengaruh kolonial yang sempat memecah belah umat. Dalam konteks ini, sebagian kalangan menyerukan penggunaan simbol yang lebih otentik dan mendalam, yaitu bendera Rasulullah SAW yang bertuliskan dua kalimat syahadat "LAILAHAILALLAH MUHAMMADARRASULULLAH". Bendera ini diyakini dapat mewakili kesatuan umat Islam secara universal, karena merujuk pada bendera yang pernah dikibarkan pada masa Rasulullah SAW. Bendera ini membawa makna persatuan dan semangat perjuangan Islam tanpa batas geografis.
Bendera Rasulullah dipandang sebagai simbol yang murni dari ajaran Islam, tanpa pengaruh kolonial atau kepentingan luar. Bagi mereka yang mendukung gerakan ini, Bendera Rasulullah SAW adalah lambang ideal untuk mempersatukan umat Islam lintas negara, suku, dan bahasa, dengan menyatukan kembali visi umat pada semangat Islam yang universal. Di tengah kondisi dunia yang penuh dengan tantangan dan konflik, khususnya di Palestina, simbol-simbol ini diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi yang mengingatkan umat akan pentingnya persatuan dan solidaritas.
Mengibarkan Bendera Tauhid mungkin tidak akan serta-merta menghilangkan konflik yang ada, tetapi setidaknya hal ini dapat menjadi pengingat akan pentingnya persatuan dalam menghadapi tantangan global. Di saat dunia Arab masih terpecah dengan warna-warna yang berakar dari masa Revolusi Arab, simbol-simbol ini mengingatkan bahwa hanya dengan bersatu, umat Islam dapat meraih kedamaian dan keadilan yang hakiki, terutama bagi Palestina yang hingga kini masih menjadi simbol perjuangan dan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Penulis : Eghi Wibowo