Queen News // Lampung Timur, 8 Desember 2024 -- Polemik muncul di Desa Braja Caka, Kecamatan Way Jepara, Lampung Timur, setelah Camat Way Jepara, Drs. Junaidi Rahmat, MH, diduga mengira arogan dan melakukan intimidasi terhadap warga terkait keberadaan plang bertuliskan "Perwakilan Khilafatul Muslimin" yang dipasang di salah satu rumah warga. Pertemuan di Balai Desa Braja Caka pada Kamis, 5 Desember 2024, berubah menjadi sorotan setelah sejumlah pihak menilai tindakan Camat tidak mencerminkan semangat dialogis dan demokratis.
Dalam pertemuan yang juga dihadiri Kapolsek Way Jepara, Kepala KUA Way Jepara, serta aparat desa lainnya, Camat Junaidi dengan lantang meminta agar plang tersebut segera diturunkan. Ia menilai keberadaan plang itu dapat mengganggu gangguan dan menimbulkan keresahan masyarakat. “Khilafatul Muslimin sudah dilarang di negeri ini. Kalau rencana tidak diturunkan, harus siap dengan konsekuensinya,” ujarnya dengan nada tegas.
Namun, pernyataan ini ditanggapi dengan tenang oleh Ahmad Shidiqin, pimpinan Jamaah Khilafatul Muslimin di Way Jepara. Ia menegaskan bahwa kegiatan mereka tidak meresahkan masyarakat, bahkan terbuka untuk semua pihak, termasuk aparat pemerintah. Shidiqin juga memahami dasar hukum yang digunakan untuk melarang organisasi tersebut.
“Kalau memang sudah dilarang, tunjukkan dasar hukumnya. Sepengetahuan kami, belum ada surat resmi atau keputusan pengadilan yang menyatakan organisasi ini terlarang,” katanya.
Pernyataan ini membuat suasana pertemuan semakin panas. Camat Junaidi kembali menegaskan bahwa larangan tersebut memiliki dasar hukum, meskipun ia tidak memberikan rincian yang jelas.
Beberapa warga menilai tindakan Camat terlalu berlebihan dan cenderung intimidatif. Salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya mengatakan, "Plang itu dipasang di tanah pribadi, bukan di fasilitas umum atau tanah negara. Tidak ada alasan yang jelas untuk melarangnya. Kenapa Camat sampai mengancam dengan konsekuensi segala macam? Ini intimidasi!"
Sementara itu, Kepala Desa Braja Caka, Mulyono, terlihat lebih tenang dan menerima penjelasan dari pihak jamaah. Karena memang selama ini tidak ada laporan keresahan masyarakat terkait kegiatan Khilafatul Muslimin di desa tersebut.
Usai pertemuan, beberapa warga menyuarakan protes atas sikap Camat yang dinilai tidak mengedepankan dialog dan keterbukaan. Mereka meminta pemerintah daerah turun tangan untuk meminta tindakan pejabat kecamatan yang dianggap tidak mencerminkan pendekatan humanis dalam menangani permasalahan masyarakat.
“Kami ini hanya warga biasa yang ingin hidup damai. Mengapa kami selalu masalah dianggap hanya karena beribadah sesuai keyakinan kami?” keluh seorang anggota jamaah.
Kasus ini menjadi cerminan betapa pentingnya pendekatan dialogis dan komunikasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat. Apakah ini akan menjadi awal kembalinya kepercayaan warga terhadap aparatur pemerintahan, atau justru membuka ruang untuk dialog yang lebih konstruktif?